Housing is
intimately linked with local and national planning of social and economics
policies as well as custom, economics, education and tradition conditions. The
World Health Organization (WHO) Expert Committee on The Public Health Aspects of
Housing at its meeting in Geneva in 1961 stated that housing is more than the
physical structure and recommended to substitute for housing to the term
residential environment, meaning the physical structure that man uses for
shelter and the environs of that structure including all necessary services,
facilities, equipment and devices needed and desire for the physical and mental
health and social well being of the family and the individual. The residential
environment is a core element of community planning. For example, new and
existing housing in built up areas is usually connected with community wide or
regional sewerage and water supply system, and is served by an area wide refuse
collection and disposal organization. The neighborhood that constitutes the residential
environment depends on larger segment of the total community for schools,
transportation, communication, employment, health facilities, and other public
services. Environmental health administrator and public health engineer have
primary responsibility to serve as an effective member of, or active
participant in the deliberations and relevant programs of concerned local a nd
national agencies. All recognize housing improvement to be a major objective of
improved economic and social development and necessary for improved health and
environmental conditions. Conditions of housing and residential environmental
as well as its assessments are clearly stated in Decree of Health Ministry of Republic
Indonesia No. 829/Menkes/SK/VII/1999. People agree that housing is a
prerequisite for mental health although it is difficult to prove the
relationship. Futhermore research concluded that people live at the slum area
has increase incident of communicable diseases and home accident compared to
people live at sanitary housing and clean residential environment.
Keywords: Health
conditions, housing, residential environment.
PENDAHULUAN
Setiap
manusia dimanapun berada membutuhkan tempat untuk tinggal yang disebut rumah.
Rumah berfungsi sebagai tempat untuk melepaskan lelah, tempat bergaul dan
membina rasa kekeluargaan diantara anggota keluarga, tempat berlindung dan menyimpan
barang berharga, dan rumah juga merupakan status lambang sosial (Azwar, 1996;
Mukono, 2000). Perumahan merupakan kebutuhan dasar manusia dan juga merupakan
determinan kesehatan masyarakat. Karena itu pengadaan perumahan merupakan
tujuan fundamental yang kompleks dan tersedianya standar perumahan merupakan
isu penting dari kesehatan masyarakat. Perumahan yang layak untuk tempat
tinggal harus memenuhi syarat kesehatan sehingga penghuninya tetap sehat.
Perumahan yang sehat tidak lepas dari ketersediaan prasarana dan saran a yang
terkait, seperti penyediaan air bersih, sanitasi pembuangan sampah,
transportasi, dan tersedianya pelayanan sosial (Krieger and Higgins, 2002).
Rumah adalah struktur fisik terdiri dari ruangan, halaman dan area sekitarnya
yang dipakai sebagai tempa t tinggal dan sarana pembinaan keluarga (UU RI No. 4
Tahun 1992).
Menurut
WHO, rumah adalah struktur fisik atau bangunan untuk tempat berlindung, dimana
lingkungan berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosialnya
baik untuk kesehatan kelu arga dan individu (Komisi WHO Mengenai Kesehatan dan
Lingkungan, 2001). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rumah sehat adalah
bangunan tempat berlindung dan beristirahat serta sebagai sarana pembinaan keluarga
yang menumbuhkan kehidupan sehat secara fisik, mental dan sosial, sehingga
seluruh anggota keluarga dapat bekerja secara produktif. Oleh karena itu
keberadaan perumahan yang sehat, aman, serasi, teratur sangat diperlukan agar
fungsi dan kegunaan rumah dapat terpenuhi dengan baik. Perumahan adalah
kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau hunian
yang dilengkapi dengan prasarana lingkungan yaitu kelengkapan dasar fisik
lingkungan, misalnya penyediaan air minum, pembuangan sampah, listrik, telepon,
jalan, yang memungkinkan lingkungan pemukiman berfungsi sebagaimana mestinya;
dan sarana lingkungan yaitu fasilitas penunjang yang berfungsi untuk
penyelenggaraan serta pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya,
seperti fasilitas taman bermain, olah raga, pendidikan, pertok oan, sarana
perhubungan, keamanan, serta fasilitas umum lainnya.
Perumahan
sehat merupakan konsep dari perumahan sebagai faktor yang dapat meningkatkan
standar kesehatan penghuninya. Konsep tersebut melibatkan pendekatan sosiologis
dan teknis pengelolaan faktor risiko dan berorientasi pada lokasi, bangunan, kualifikasi,
adaptasi, manajemen, penggunaan dan pemeliharaan rumah dan lingkungan di
sekitarnya, serta mencakup unsur apakah rumah tersebut memiliki penyediaan air
minum dan sarana yang memadai untuk memasak, mencuci, menyimpan makanan, serta pembuangan
kotoran manusia maupun limbah lainnya (Komisi WHO Mengenai Kesehatan dan
Lingkungan, 2001). Menurut American Public Health Association (APHA) rumah
dikatakan sehat apabila :
(1) Memenuhi
kebutuhan fisik dasar seperti temperatur lebih rendah dari udara di luar rumah,
penerangan yang memadai, ventilasi yang nyaman, dan kebisingan 45-55 dB.A.;
(2) Memenuhi
kebutuhan kejiwaan;
(3) Melindungi
penghuninya dari penularan penyakit menular yaitu memiliki penyediaan air
bersih, sarana pembuangan sampah dan saluran pembuangan air limbah yang saniter
dan memenuhi syarat kesehatan; serta
(4) Melindungi
penghuninya dari kemungkinan terjadinya kecelakaan dan bahaya kebakaran,
seperti fondasi rumah yang kokoh, tangga ya ng tidak curam, bahaya kebakaran
karena arus pendek listrik, keracunan, bahkan dari ancaman kecelakaan lalu
lintas (Sanropie, 1992; Azwar, 1996).
Komponen yang
harus dimiliki rumah sehat (Ditjen Cipta Karya, 1997) adalah :
(1)
Fondasi yang kuat untuk mene ruskan beban bangunan ke tanah dasar, memberi kestabilan
bangunan , dan merupakan konstruksi penghubung antara bagunan dengan tanah;
(2)
Lantai kedap air dan tidak lembab, tinggi minimum 10 cm dari pekarangan dan 25
cm dari badan jalan, bahan kedap air, unt uk rumah panggung dapat terbuat dari
papan atau anyaman bambu;
(3)
Memiliki jendela dan pintu yang berfungsi sebagai ventilasi dan masuknya sinar
matahari dengan luas minimum 10% luas lantai;
(4)
Dinding rumah kedap air yang berfungsi untuk mendukung atau menyangga atap,
menahan angin dan air hujan, melindungi dari panas dan debu dari luar, serta
menjaga kerahasiaan ( privacy) penghuninya;
(5)
Langit-langit untuk menahan dan menyerap panas terik matahari, minimum 2,4 m
dari lantai, bisa dari bahan papan, anyaman bambu, tripleks atau gipsum; serta
(6) Atap rumah yang berfungsi sebagai penahan panas sinar matahari serta
melindungi masuknya debu, angin dan air hujan. Pemukiman adalah bagian dari
lingkungan hidup diluar kawasan hutan lindung, baik yang berupa kaw asan
perkotaan atau pedesaan. Pemukiman berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau
hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan (UU RI
No. 4/1992).
Kawasan
pemukiman didominasi oleh lingkungan hunian dengan fungsi utama seb agai tempat
tinggal yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan, tempat bekerja
yang memberi pelayanan dan kesempatan kerja terbatas yang mendukung
perikehidupan dan penghidupan. Satuan lingkungan pemukiman adalah kawasan
perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang,
prasarana dan sarana lingkungan terstuktur yang memungkinkan pelayanan dan pengelolaan
yang optimal.
Prasarana
lingkungan pemukiman adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang
memungkinkan lingkungan pemukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Prasarana utama meliputi jaringan jalan, jaringan pembuangan air limbah dan
sampah, jaringan pematusan air hujan, jaringan pengadaan air bersih, jaringan
listrik, telepon, gas, dan sebagainya. Jaringan primer prasarana lingkungan adalah
jaringan utama yang menghubungkan antara kawasan pemukiman atau antara kawasan
pemukiman dengan kawasan lainnya. Jaringan sekunder prasarana lingkungan adalah
jaringan cabang dari jaringan primer yang melayani kebutuhan di dal am satu satuan
lingkungan pemukiman. Sarana lingkungan pemukiman adalah fasilitas penunjang yang
berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan
budaya. Contoh sarana lingkungan pemukiman adalah fasilitas pusat perbelanjaan,
pelayanan umum, pendidikan dan kesehatan, tempat peribadatan, rekreasi dan olah
raga, pertamanan, pemakaman. Selanjutnya istilah utilitas umum mengacu pada
sarana penunjang untuk pelayanan lingkungan pemukiman, meliputi jaringan air
bersih, listrik, telepon, gas, transportasi, dan pemadam kebakaran.Utilitas
umum membutuhkan pengelolaan profesional dan berkelanjutan oleh suatu badan
usaha.
SINDROMA GEDUNG SAKIT
Sindroma
Gedung Sakit (Sick Building Syndrome) adalah kumpulan gejala yang dialami oleh
sese orang yang bekerja di kantor atau tinggal di apartemen dengan bangunan
tinggi dimana di dalamnya terjadi gangguan sirkulasi udara yang menyebabkan keluhan
iritasi dan kering pada mata, kulit, hidung, tenggorokan disertai sakit kepala,
pusing, rasa mual, mu ntah, bersin dan kadang disertai nafas sesak. Keluhan ini
biasanya tidak terlalu berat walaupun bisa menetap sampai 2 minggu, sehingga
akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja (Aditama, 1992; Mukono, 2000).
Istilah
Sindroma Gedung Sakit pertama kali diperkenalkan oleh para ahli dari negara Skandinavia
pada awal tahun 1980-an. Istilah ini kemudian dipakai secara luas dan kini
telah tercatat berbagai laporan tentang terjadinya Sindroma Gedung Sakit dari
berbagai negara di Eropa, Amerika dan bahkan dari negara Singapura. Penyebab
terjadinya Sindroma Gedung Sakit berkaitan sangat erat dengan ventilasi udara
ruangan yang kurang memadai karena
kurangnya udara segar masuk ke dalam ruangan gedung, distribusi udara yang
kurang merata, serta kurang baiknya perawatan sarana ventilasi. Dilain pihak, pencemaran
udara dari dalam gedung itu sendiri yang berasal dari misalnya asap rokok,
pestisida, bahan pembersih ruangan, dan sebagainya. Bahan pencemar udara yang mungkin
ada dalam ruangan dapat berupa gas CO, CO2, beberapa jenis bakteri, jamur,
kotoran binatang, formaldehid dan berbagai bahan organik lainnya yang dapat
menimbulkan efek iritasi pada selaput sendir dan kulit. Keluhan yang timbul dap
at berupa mata pedih, hidung berlendir (running nose) dan bersin, kulit kering
dan luka, sakit kepala, serta badan terasa lemah (Aditama, 1992;Sanropie, 1992;
Mukono, 2000).
Kualitas
udara dalam ruangan ( indoor air quality) sebenarnya ditentukan secara sengaja
ataupun tidak sengaja oleh penghuni ruangan itu sendiri. Ada gedung yang secara
khusus diatur, baik suhu maupun frekuensi pertukaran udaranya dengan memakai
peralatan ventilasi khusus, ada pula yang dilakukan dengan mendayagunakan keadaan
cuaca alamiah dengan mengatur bagian gedung yang dapat dibuka. Kualitas udara
dalam ruangan juga dipengaruhi oleh temperatur dan kelembaban yang dapat
mempengaruhi kenyamanan dan kesehatan penghuninya. Dengan demikian kualitas
udara tidak bebas dalam ruangan sangat bervariasi. Apabila terdapat udara yang tidak
bebas dalam ruangan, maka b ahan pencemar udara dalam konsentrasi yang cukup
memiliki kesempatan untuk memasuki tubuh penghuninya.
Sumber
pencemaran udara dalam ruangan menurut penelitian The National Institute of
Occupational Safety and Health (NIOSH) dirinci menjadi 5 sumber (Aditama, 1992)
meliputi :
(1)
pencemaran akibat kegiatan penghuni dalam gedung seperti asap rokok, pestisida,
bahan pembersih ruangan;
(2)
pencemaran dari luar gedung meliputi masuknya gas buangan kendaraan bermotor, cerobong
asap dapur karena penempatan lokas i lubang ventilasi yang tidak tepat;
(3)
pencemaran dari bahan bangunan ruangan seperti formaldehid, lem, asbestos, fibreglass
, dan bahan lainnya;
(4)
pencemaran mikroba meliputi bakteri, jamur, virus atau protozoa yang dapat diketemukan
di saluran udara d an alat pendingin ruangan
beserta seluruh
sistemnya; dan
(5) kurangnya
udara segar yang masuk karena gangguan ventilasi udara dan kurangnya perawatan sistem
peralatan ventilasi. Kualitas udara dalam ruangan yang baik didefinisikan
sebagai udara yang bebas bahan pencemar penyebab iritasi, ketidaknyamanan atau
terganggunya kesehatan penghuni. Temperatur dan kelembaban ruangan juga
mempengaruhi kenyamanan dan kesehatan penghuni. Baku mutu bahan pencemar tertinggi
yang diperkenankan dari beberapa bahan pencemar udara ruangan telah dideskripsikan
dalam American Society of Health, Refrigerating, and Air Conditioning Engineers
(ASHRAE) 62 tahun 1989.
Sedangkan baku
mutu tertinggi yang diperkenankan untuk kelompok bahan pencemar spesifik dan
pedoman kenyamanan dalam ruangan untuk parameter fisik yang spesifik diuraikan
dalam Guideline for good indoor Air Quality (Lily at al., 1998).
PENGADAAN PERUMAHAN
Laju
pertumbuhan penduduk yang pesat dan arus urbanisasidi negara sedang berkembang
menyebabkan masalah perumahan memerlukan pemecahan dan penanganan yang segara.
Di Afrika, Amerika Latin dan Asia penduduk kota meningkat dua kali lipat dalam periode
10 tahun terakhir. Urbanisasi yang tidak terkendali ini menimbulkan rangkaian
masalah sosial yang sangat kompleks. Laju pertumbuhan penduduk di Indonesia
seperti di negara sedang berkembang lainnya juga cukup tinggi, yaitu sekitar
2,3% per tahun, dan bahkan di daerah perkotaan mencapai 5,4% per tahun yang
juga terutama disebabkan karena derasnya arus urbanisasi. Hal ini meyebabkan
peningkatan kebutuhan prasarana dan sarana perumahan dan lingkungan pemukiman
dan pengadaan perumahan untuk golongan masyarakat dengan tingkat ekonomi
menengah kebawah menjadi problem yang semakin sulit.
United
Nations Conference on Problem of The Human Environment pada tahun 1972 telah
menyatakan bahwa lebih dari 1 milyar penduduk dunia hidup dalam kondisi
perumahan dibawah standar dan kemungkinan situasi ini akan semakin bertambah
buruk dimasa yang akan datang (WHO SEARO, 1986; Komisi WHO Mengenai Kesehatan
dan Lingkungan, 2001). Faktor yang berpengaruh dalam situasi ini adalah tingkat
ekonomi masyarakat yang masih rendah; lingkungan fisik, biologi, sosial dan
budaya setempat yang belum mendukung; tingkat kemajuan teknologi pembangunan
perumahan masih terbelakang; serta belum konsistennya kebijaksanaan pemerintah
dalam tata guna lahan dan program pembangunan perumahan untuk rakyat
(Napitupulu, 1994; Parwoto, 1994; Panudju, 1999). Masalah yang dihadapi dalam
pembangunan perumahan di daerah perkotaan adalah luas lahan yang semakin
menyempit; harga tanah dan material bangunan yang dari waktu kewaktu semakin bertambah
mahal; serta kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Kondisi semacam ini
akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas perumahan, bahkan sering menumbuhkan
pemukiman kumuh.
Demikian
juga kondisi perumahan di daerah pedesaan banyak dijumpai perumahan yang tidak
memenuhi syarat kesehatan Soedjajadi Keman, Kesehatan Perumahan 35 sehingga
perlu ditata kembali dan dipugar dengan melengkapi prasarana dan sarana
perumahan yang memadai. Masyarakat kecil berpenghasilan rendah tidak mampu memenuhi
persyaratan mendapatkan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bahkan untuk rumah tipe
Rumah Sangat Sederhana (RSS). Sebaliknya pemerintah dan swasta pengembang
perumahan tidak dapat memenuhi kebutuhan perumahan untuk masyarakat. Hal tersebut
menimbulkan masalah sosial yang serius dan menumbuhkan lingkungan pemukiman
kumuh (slum area) dengan gambaran berhubungan erat dengan kemiskinan, kepadatan
penghuninya tinggi, sanitasi dasar perumahan yang rendah seh ingga tampak jorok
dan kotor yaitu tidak ada penyediaan air besih, sampah yang menumpuk, kondisi
rumah yang sangat menyedihkan, dan banyaknya vektor penyakit, terutama lalat,
nyamuk dan tikus. Dalam pengadaan perumahan, sangat diperlukan peran serta masyarakat
karena pemerintah dalam hal ini hanya bertindak sebagai fasilitator yang
mendorong dan memberi bantuan untuk mencapai tujuan. Pembangunan perumahan
merupakan tanggung jawab dari masyarakat sendiri sehingga potensi dan peran
serta masyarakat perlu dikembangkan dalam pembangunan perumahan.
Hak
dan kesempatan untuk berperan serta yang sebesar - besarnya dalam pembangunan
rumah, perumahan dan lingkungan pemukiman meliputi pemugaran, renovasi,
peremajaan lingkungan pemukiman dan pembangunan perumahan dinyat akan dalam UU
RI No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman. Agar masyarakat luas
bersedia dan mampu berperan serta dalam kegiatan tersebut, maka pemerintah
menyelenggarakan penyuluhan, pembimbingan, pendidikan, dan pelatihan. Wujud pembinaan
di bidang perumahan dan lingkungan pemukiman berupa kebijaksanaan, strategi,
rencana, dan program yang meliputi rumah, sarana dan prasarana lingkungan; tata
ruang; pertanahan; industri bahan, jasa telekomunikasi dan rancang bangun;
pembiayaan; kelembagaan; sumber daya manusia; serta peraturan perundangan.
PERSYARATAN KESEHATAN PERUMAHAN
DAN LINGKUNGAN PEMUKIMAN
Kesehatan
perumahan dan lingkungan pemukiman adalah kondisi fisik, kimia, dan biologik di
dalam rumah, di lingkungan rumah dan perumahan, sehingga memungkinkan penghuni
mendapatkan derajat kesehatan yang optimal. Persyaratan kesehatan perumahan dan
lingkungan pemukinan adalah ketentuan teknis kesehatan yang wajib dipenuhi
dalam rangka melindungi penghuni dan masyarakat yang bermukim di perumahan
dan/atau masyarakat sekitar dari bahaya atau gangguan kesehatan. Persyaratan
kesehatan perumahan yang meliputi persyaratan lingkungan perumahan dan pemukiman
serta persyaratan rumah itu sendiri, sangat diperlukan karena pembangunan
perumahan berpengaruh sangat bes ar terhadap peningkatan derajat kesehatan
individu, keluarga dan masyarakat (Sanropie, 1992).
Persyaratan
kesehatan perumahan dan lingkungan pemukiman menurut Keputusan Menteri
Kesehatan (Kepmenkes) No. 829/Menkes/SK/VII/1999 meliputi parameter sebagai berikut
:
1. Lokasi
a. Tidak
terletak pada daerah rawan bencana alam seperti bantaran sungai, aliran lahar,
tanah longsor, gelombang tsunami, daerah gempa, dan sebagainya;
b. Tidak
terletak pada daerah bekas tempat pembuangan akhir (TPA) sampah atau bekas
tambang;
c. Tidak
terletak pada daerah rawan kecelakaan dan daerah kebakaran seperti jalur
pendaratan penerbangan.
2. Kualitas
udara
Kualitas udara
ambien di lingkungan perumahan harus bebas dari gangguan gas beracun dan
memenuhi syarat baku mutu lingkungan sebagai berikut :
a. Gas H2S dan
NH3 secara biologis tidak terdeteksi;
b. Debu dengan
diameter kurang dari 10 g maksimum 150
g/m3;
c. Gas SO2
maksimum 0,10 ppm;
d. Debu maksimum
350 mm3/m2 per hari.
3. Kebisingan
dan getaran
a. Kebisingan
dianjurkan 45 dB.A, maksimum 55 dB.A;
b. Tingkat
getaran maksimum 10 mm/detik .
4. Kualitas
tanah di daerah perumahan dan pemukiman
a. Kandungan
Timah hitam (Pb) maksimum 300 mg/kg
b. Kandungan
Arsenik (As) total maksimum 100 mg/kg
c. Kandungan
Cadmium (Cd) maksimum 20 mg/kg
d. Kandungan
Benzo(a)pyrene maksimum 1 mg/kg
5. Prasarana dan
sarana lingkungan
a. Memiliki
taman bermain untuk anak, sarana rekreasi keluarga dengan konstruksi yang aman
dari kecelakaan;
b. Memiliki
sarana drainase yang tidak menjadi tempat perindukan vektor penyakit;
c. Memiliki
sarana jalan lingkungan dengan ketentuan konstruksi jalan tidak mengganggu
kesehatan, konstruksi trotoar tidak membahayakan pejalan kaki dan penyandang
cacat, jembatan harus memiliki pagar pengaman, lampu penerangan jalan tidak
menyilaukan mata;
d. Tersedia
cukup air bersih sepanjang waktu dengan kualitas air yang memenuhi persyaratan
kesehatan;
e. Pengelolaan
pembuangan tinja dan limbah rumah tangga harus memenuhi persyaratan kesehatan;
f. Pengelolaan pembuangan
sampah rumah tangga harus memenuhi syarat kesehatan;
g. Memiliki
akses terhadap sarana pelayanan kesehatan, komunikasi, tempat kerja, tempat
hiburan, tempat pendidikan, kesenian, dan lain sebagainya;
h. Pengaturan
instalasi listrik harus menjamin keamanan penghuninya;
i. Tempat
pengelolaan makanan (TPM) harus menjamin tidak terjadi kontaminasi makanan yang
dapat menimbulkan keracunan.
6. Vektor
penyakit
a. Indeks lalat
harus memenuhi syarat;
b. Indeks jentik
nyamuk dibawah 5%.
7. Penghijauan
Pepohonan untuk
penghijauan lingkungan pemukiman merupakan pelindung dan juga berfungsi untuk
kesejukan, keindahan dan kelestarian alam. Adapun ketentuan persyaratan
kesehatan rumah tinggal menurut Kepmenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999 adalah
sebagai berikut :
1. Bahan
bangunan
a. Tidak terbuat
dari bahan yang dapat melepaskan bahan yang dapat membahayakan kesehatan, an
tara lain : debu total kurang dari 150 g/m2, asbestos kurang dari 0,5 serat/m
3 per 24 jam, plumbum (Pb) kurang dari 300 mg/kg bahan;
b. Tidak terbuat
dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme patogen.
2. Komponen dan
penataan ruangan
a. Lantai kedap
air dan mudah dibersihkan;
b. Dinding rumah
memiliki ventilasi, di kamar mandi dan kamar cuci kedap air dan mudah dibersihkan;
c. Langit-langit
rumah mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan;
d. Bumbungan
rumah 10 m dan ada penangkal petir;
e. Ruang ditata
sesuai dengan fungsi dan peruntukannya;
f. Dapur harus
memiliki sarana pembuangan asap.
3. Pencahayaan
Pencahayaan
alam dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh
ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata.
4. Kualitas
udara
a. Suhu udara
nyaman antara 18 – 30 oC;
b. Kelembaban
udara 40 – 70 %;
c. Gas SO2 kurang
dari 0,10 ppm/24 jam;
d. Pertukaran
udara 5 kaki3/menit/penghuni;
e. Gas CO kurang
dari 100 ppm/8 jam;
f. Gas
formaldehid kurang dari 120 mg/m3.
5. Ventilasi
Luas lubang
ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% luas lantai.
6. Vektor
penyakit
Tidak ada lalat,
nyamuk ataupun tikus yang bersarang di dalam rumah.
7. Penyediaan
air
a. Tersedia
sarana penyediaan air bersih dengan kapasitas minimal 60 liter/ orang/hari;
b. Kualitas air
harus memenuhi persyaratan kesehatan air bersih dan/atau air minum menurut Permenkes
416 tahun 1990 dan Kepmenkes 907 tahun 2002.
8. Sarana
penyimpanan makanan
Tersedia sarana
penyimpanan makanan yang aman .
9. Pembuangan
Limbah
a. Limbah cair
yang berasal rumah tangga tidak mencemari sumber air, tidak menimbulkan bau,
dan tidak mencemari permukaan tanah;
b. Limbah padat
harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan bau, tidak mencemari
permukaan tanah dan air tanah.
10. Kepadatan
hunian
Luas kamar tidur
minimal 8 m2 dan dianjurkan tidak untuk lebih dari 2 orang tidur. Persyaratan
tersebut diatas berlaku juga terhadap kondominium, rumah susun (rusun), rumah
toko (ruko), rumah kantor (rukan) pada zona pemukiman. Pelaksanaan ketentuan
mengenai persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan pemukiman menjadi
tanggung jawab pengembang atau penyelenggara pembangunan perumahan, dan pemilik
atau penghuni rumah tinggal untuk rumah.
Penyelenggara
pembangunan perumahan (pengembang) yang tidak memenuhi ketentuan tentang
persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan pemukiman dapat dikenai sanksi
pidana dan/atau sanksi administrasi sesuai dengan UU No. 4 /1992 tentang Perumahan
dan Pemukiman, dan UU No. 23 /1992 tentangKesehatan, serta peraturan
pelaksanaannya.
Bagi pemilik
rumah yang belum memenuhi ketentuan tersebutdiatas tidak dapat dikenai sanksi,
tetapi dibina agar segera dapatmemenuhi persyaratan kesehatan rumah.
PENILAIAN RUMAH SEHAT
Rumah
merupakan salah satu kebutuhan pokok manusiadisamping sandang dan papan,
sehingga rumah harus sehat agarpenghuninya dapat bekerja secara produktif.
Konstruksi rumah dan lingkungannya yang tidak memenuhi syarat kesehatan
merupakan faktor risiko sebagai sumber penularan berbagai penyakit, khususnya penyakit
yang berbasis lingkungan. Berdasar Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang dilaksanakan
tahun 1995 (Ditjen PPM dan PL, 2002) penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA) yang merupakan penyebab kematian terbanyak kedua dan tuberkulosis yang
merupakan peny ebab kematian terbanyak ketiga erat kaitannya dengan kondisi
sanitasi perumahan yang tidak sehat. Penyediaan air bersih dan dan sanitasi lingkungan
yang tidak memenuhi syarat menjadi faktor risiko terhadap penyakit diare
(penyebab kematian urutan nomor empat) disamping penyakit kecacingan yang
menyebabkan produktivitas kerja menurun. Disamping itu, angka kejadian penyakit
yang ditularkan oleh vektor penular penyakit demam berdarah, malaria, pes dan
filariasis yang masih tinggi. Upaya pengendalian faktor ris iko yang
mempengaruhi timbulnya ancaman kesehatan telah diatur dalam Kepmenkes RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999
tentang persyaratan kesehatan perumahan.
Dalam
penilaian rumah sehat menurut Kepmenkes tersebut diatas, parameter rumah yang
dinilai meliputi ling kup 3 (tiga) kelompok komponen penilaian, yaitu :
(1) kelompok
komponen rumah, meliputi langit-langit, dinding, lantai, jendela kamar tidur,
jendela kamar keluarga, dan ruang tamu, ventilasi, sarana pembuangan asap dapur,
pencahayaan;
(2) kelompok
sarana s anitasi, meliputi sarana air bersih, sarana pembuangan kotoran, sarana
pembuangan air limbah, dan sarana pembuangan sampah; dan
(3) kelompok
perilaku penghuni, meliputi perilaku membuka jendela kamar tidur, membuka jendela
ruang keluarga dan tamu, membersi hkan halaman rumah, membuang tinja bayi/anak
ke kakus, dan membuang sampah pada tempatnya. Formulir penilaian rumah sehat
terdiri komponen yang dinilai, kriteria penilaian, nilai dan bobot serta hasil
penilaian secara terinci dapat dilihat pada lampiran da ri Kepmenkes RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999
tentang persyaratan kesehatan perumahan.
PENUTUP
Seperti
program kesehatan lainnya, aspek kesehatan perumahan dan lingkungan pemukiman
dihubungkan dengan definisi sehat menurut WHO, yaitu sehat adalah suatu ke
adaan yang lengkap dari fisik, mental, dan kesejahteraan sosial tidak hanya
sekedar bebas dan sakit dan cacat, yang memungkinkan seseorang dapat bekerja secara
produktif. Kita setuju bahwa rumah merupakan prasyarat yang jelas untuk
kesehatan mental, malaup un sulit untuk membuktikan adanya hubungan yang jelas
antara penyakit kejiwaan dengan kesehatan perumahan dan lingkungan pemukiman.
Penelitian menunjukkan bahwa penduduk yang tinggal di daerah pemukiman kumuh
mempunyai kejadian penyakit menular dan kecelak aan dalam rumah yang lebih
tinggi dibandingkan dengan mereka yang tinggal di lingkungan pemukiman yang
lebih baik. Rumah mobil (caravan) yang sering dipakai sebagai tempat tinggal
terutama pada musim panas di negara subtropis, telah dibebaskan dari
pengekangan oleh peraturan tentang pembangunan rumah konvensional, karena caravan
adalah kendaraan bermotor dan tidak tunduk pada peraturan perundangan tentang
perumahan (Senn,1980).
Prosedur
penilaian dan persetujuan pembangunan perumahan dan lingkungan pemuk iman harus
memastikan tentang ketersediaan jaringan suplai air bersih, saluran pembuangan
air limbah, pengumpulan dan pembuangan sampah, saluran pematusan, jalan aspal
ataupun paving, penerangan jalan, lapangan parkir, tempat terbuka, serta
fasilitas lain yang diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
Aditama,TY.
(1992). Polusi Udara dan Kesehatan. Jakarta : Arcan.
Azwar, A.
(1996). Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan . Jakarta :
Mutiara Sumber
Widya.
Anonim. (1997).
Rumah dan Lingkungan Pemukiman Sehat . Jakarta : Ditjen Cipta Karya Departemen
Pekerjaan Umum R.I.
Ditjen PPM dan
PL (2002) Pedoman Teknis Penilaian Rumah sehat . Jakarta : Departemen Kesehatan
R.I.
Kepmenkes RI No.
829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan. Jakarta :
Departemen Kesehatan R.I.
Soedjajadi
Keman, Kesehatan Perumahan 41 Kepmenkes RI No. 907/Menkes/SK/VII/2002 tentang
Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum. Jakarta : Departemen Kesehatan
R.I.
Komisi WHO
Mengenai Kesehatan dan Lingkungan . (2001). Planet Kita Kesehatan Kita.
Kusnanto H (Editor). Yogyakarta : Gajah Mada University Press, p. 279.
Krieger J and
Higgins DL. (2002). Housing and Health : Time Again for Public Action. Am J
Public Health 92:5, 758-759.
Lily P, Septa R
dan Happy RS. (1998). Kualitas Udara Dalam Ruangan. Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI. Mukono HJ.(2000). Prinsip dasar Kesehatan
Lingkungan . Surabaya : Airlangga University Press, pp 155-157.
Napitupulu, MF.
(1994). Pelaksanaan Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman melalui Pendekatan
Kelurahan Demo Kesehatan Lingkungan di DKI Jakarta. Majalah Kesehatan Perkotaan
1:2, 119-128.
Panudju, B.
(1999). Pengadaan Rumah Kota dengan Peran Serta Masyarakat Berpenghasilan
Rendah . Bandung : Penerbit Alumni.
Parwoto. (1994).
Pembangunan Perumahan Bertumpu pada Masyarakat. Majalah Kesehatan Perkotaan
1:2, 141-158.
Permenkes No.
416/Menkes/SK/VIII/1990 tentang Pemantauan Kualitas Air Minum, Air Bersih, Air
Kolam Renang dan Air Pemandian Umum. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
Sanropie D.
(1992). Pedoman Bidang Studi Perencanaan Penyehatan Lingkungan Pemukiman.
Jakarta : Departemen Kesehatan R.I.
Senn CL. (1980).
Housing and The Residential Environment in Environmental Health, 2nd Ed, Purdom
PW (Ed ). New York : Academic Press, pp 521-550.
Undang-Undang RI
No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman. Jakarta : Departemen
Kesehatan R.I.
No comments:
Post a Comment
TERIMAKASIH ATAS PARTISIPASINYA