DAFTAR ISI
Daftar isix
BAB I
Dunia Hukum
Sedang Bergejolak2
BAB II
Sketsa Post Modern : Porak – Porandanya Pengetahuan7
Sketsa Post Modern : Porak – Porandanya Pengetahuan7
BAB III
Pengaruh Dari Realisme Hukum9
A. Latar Belakang Lahirnya Aturan Realisme Hukum9
B. Konsep Pemikiran Dari Realisme Hukum10
C. Hubungan
Realisme Hukum Dengan Critical Legal Studies11
D. Kritik Terhadap Realisme Hukum13
BAB IV
Critical Legal Studies : Latar
Belakang dan Perkembangan14
A.
Latar Belakang Lahirnya Critical Legal Studies14
B.
Critical Legal Studies Sebagai Tanggapan Terhadap Ketidakberdayaan Hukum 14
C.
Critical Legal Studies, Formalisme, dan Pluralisme Hukum15
D.
Critical Legal Studies dan Sejarah Hukum16
E. Critical Race Theory ( Race – Crits ) 17
F.
Respons dari Kaum Ortodoks Terhadap Critical Legal Studies17
BAB V
Critical Legal Studies
Tentang Kekuasaan dan Masyarakat18
A.
Peranan Hukum dalam Masyarakat18
BAB VI
Critical Legal Studies Menurut
Roberto Unger19
A. Kritik Terhadap Paham Formalisme dan Objektivisme19
B. Konsep – Konsep dari Aliran Critical Legal
Studies19
C. Program –
program Institusional dari Aliran Critical Legal Studies20
KETERANGAN21
BAB I
DUNIA HUKUM SEDANG BERGEJOLAK
Dunia akan kacau seandainya hukum tidak ada, tidak berfungsi atau kurang
berfungsi. Ini adalah suatu kebenaran yang telah terbukti dan diakui bahkan
sebelum manusia mengenal peradaban sekalipun. Mengapa masyarakat Amerika
Serikat sampai membenarkan pengiriman putra-putra bangsanya untuk bergerilya
dan mempertaruhkan nyawanya di hutan tropis dan rawa – rawa dalarn Perang
Vietnam pada awal dekade 1960-an? Mengapa kerusakan lingkungan terjadi
di mana-mana? Dan yang lebih penting lagi, mengapa semua masalah tersebut dan
luluh lantak seperti itu terjadi pada abad ke-20 ini, di mana ilmu pengetahuan
dan teknologi sedang mengkiaim dirinya berada di puncak kemajuannya di atas
menara gading itu? Semua ini memperlihatkan.dengan jelas betapa ilmu hukum dan
ilmu sosial serta ilmu budaya sudah gagal dan lumpuh sehingga sudah tidak dapat
menjalankan fungsinya lagi sebagai pelindung dan pemanfaat terhadap peradaban
dan eksistensi manusia di bumi ini.
Karena itu, dalam bidang ilmu nonsains, bahkan juga kemudian dalam ilmu sains
itu sendiri, terdapat gejolak – gejolak dalam bentuk pembangkangan, yang
semakin lama tensinya semakin tinggi. Gejolak tersebut yang kemudian
mengkristal menjadi protes yand akhirnya melahirkan aliran baru dengan cara pandang
baru terhadap dunia, manusia, dan masyarakat dbngan berbagai atributnya itu.
Karena sains juga mempunyai watak “anarkis”, maka pada awal mulanya setiap
pembangkangan dianggap sebagai konsekuensi dari perkembangan sains sehingga
pembangkangan tersebut dianggap wajar-wajar saja.
Science is an essentially
anarchistic enterprise: Theoretical anarchism is more humanitarian and more
likely to encourage progress than its law-and-order alternatives
(Paul Feyerabend, 1982: 17).
Bagi para penganut ajaran postmodem, “perbedaan” merupakan inti dari segala
kebenaran. Karena itu, mereka tidak mempercayai kepada hal-hal yang universal,
harmonis, konsisten, dan transendental. Tidak ada musyawarah-musyawarahan
dalarn mencari kebenaran dan menghadapi realitas. Yang ada hanyalah
perbedaan-perbedaan, dan perbedaan-perbedaan tersebut harus selalu dihormati.
Aliran postmodern ini masuk pula ke dalam bidang hukum, yang bersama-sama
dengan paham terakhir di bidang hukum, saat itu, yaitu paham realisme hukum
serta bersama pula dengan paham kritis radikal seperti aliran Frankfurt di
Eropa, mereka bersama-sama mempolakan suatu aliran baru dalam bidang hukum,
yang tentu saja radikal, yaitu yang disebut dengan aliran hukurn kritis (critical
legal studies). Seorang pelopor utama dari aliran critical legal studies,
yaitu Roberto Mangabeira Unger menyatakan bahwa:
the critical legal studies movement
has undermined the central ideas of modem legal though and put another
conception of law in their place
(Roberto Mangabeira Unger, 1986: 1).
Dalam berbagai bidang ilmu terdapat berbagai variasi terhadap visi dan
perkembangan aliran terakhirnya di abad kedua puluh itu. Ada yang secara
langsung melawan paham sebelumnya berupa paham positivisme yang sangat
dipengaruhi oleh pola pikir ilmiah – rasional berdasarkan ilmu dan teknologi.
Aliran-aliran hukum yang sangat dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dengan cara
berpikir dengan menggunakan rasio yang abstrak-silogisme sebagaimana yang
dilakukan paharn positivisme dari Agust Gornte, ajaran hukum. murni dan
grundnorm dari Hans Kelsen dari Jerman, ataulbun ajaran hukum alam, bahkan
ajaran-ajaran seperti dari Durkheirn, Von Jhering, Max Weber, dan Gustav
Radbruch sebelumnya sudah dilabrak habis oleh aliran realisme hukum pada,
sekitar dekade 1930-an. Jadi, tidak benar jika ilmu hukum selalu bersifat
konservatif dan cenderung mempertahankan status quo sebagaimana yang dituding
oleh banyak orang.
Aliran realisme hukum ini melakukan pembangkangan terhadap teori dan konsep
hukum yang ada dengan mengajukan banyak pertanyaan penting terhadap hukum. Hanya saja, eksistensi kehidupan
aliran. realisme hukum tersebut kemuthan memang dalarn keadaan megap-megap dan
dunia hukum menjadi semakin redup setelah meninggalnya para pelopor dari aliran
realisme hukum itu, terutama dengan meninggalnya Karl Llewellyn, Joreme Frank,
dan Felix Cohen.
Akan tetapi, kemudian dunia hukum kembali bersinar lagi, terutama dengan
munculnya aliran baru pada akhir abad ke~20 yang disebut dengan critical legal
studies.
Aliran critical legal studies merupakah suatu aliran yang bersikap anti –
liberal, antiobiektivisme, antiformalisme, dan antikemapanan dalam teori dan
filsafat hukum, yang dengan dipengaruhi oleh pola pikir postmodem, neomarxism,
dan realisme hukum, secara radikal mendobrak paham hukum yang sudah ada
sebelumnya, yang menggugat kenetralan dan keobjektifan peran dari hukum, hakim,
dan penegak hukum lainnya terutama dalam hal keberpihakan hukum dan penegak
hukum terhadap golongan yang kuat/mayoritas/berkuasa/kaya dalam rangka
mempertahankan hegemoninya, atau keberpihakan hukum terhadap politik dan
ideologi tertentu, di mana aliran critical legal studies ini dengan menolak
unsur kebenaran objektif dari ilmu pengetahuan hukum, dan menolak-pula
kepercayaan terhadap unsur keadilan, ketertiban, dan kepastian hukum yang
objektif, mereka mengubah haluan hukurn untuk kernudian digunakan sebagai alat
untuk menciptakan emansipasi dalam dunia politik, ekonomi, dan sosial budaya.
Modernisme mengakibatkan militerisme. Karena unsur religius dan moral tidak
berdaya, manusia cenderung menggunakan kekuatan kekuasaan sehingga perang
crengan senjata canggih, kekerasan, ataupun militerisme tidak terelakan.
Meskipun penggunaan agama secara fundamentalis juga dapat mengakibatkan hat
yang sama afas nama perjuangan menegakkan agama secara kaku.
Sebagai
konsekuensi penggunaan kekuasaan secara koersif, maka timbullah kembali paham
tribalisme, yang hanya mementingkan suku atau kelompoknya sendri.
(I. Bambang
Sugiharto, 1996:30).
Perkembangan dunia modern yang sarat dengan ilmu dan teknologi dan dengan cara
berpikir yang sekuler dan kapital – liberalisme, ternyata telah membawa petaka
berupa kehancuran planet bumi sekaligus merupakan ancaman terhadap kehidupan
dan peradaban manusia. Karena itu, di mana-mana dewasa ini semangat
menyelesaikan segala persoalan manusia dengan mengikutsertakan pertimbangan
spiritual sudah mulai bergema lagi. Faktor agama yang suclah lama tidur lelap
karena dipandang hanya sebagai candu yang meninabobokan masyarakat, diundang
untuk turun tangan kembali. Jika pada masa-masa lalu ternyata agama dapat
bersikap aktif dan komunikatif, dengan adaptasi-adaptasi tertentu, diharapkan
tentunya agama tersebut dapat memainkan perannya kembali.
Relativisme
Merupakan suatu paham yang mengajarkan bahwa semua putusan terhadap nilai
bersifat relatif terhadap perspektif dan tujuan yang terbatas. Jadi, tidak ada
tempat berpijak yang secara objektif menentukan bahwa sesuatu itu secara
normatif benar atau tidak.sekarang zaman
postmodern telah datang, yang akan menjungkirbalikkan hampir semua asumsi dan
pola pikir zaman modern yang terkesan congkak (arogan) tersebut.
Postmodern merupakan penolakan yang
radikal terhadap pernikiran modern. Sebagaimana diketahui bahwa paham falsafah
modern ini dibentuk oleh Immanuel Kant, Rene Descartes, dan David Hume.
Meskipun harus diakui bahwa pemikiran pada era modern tersebut telah juga
melakukan lompatan-lompatan, terutama dengan berkembangnya secara pesat ilmu
pengetahuan dan teknologi, yang menggantikan konsep pramode prailmiah yang
sangat menekankan pada kepercayaan, mitos, takhayul, cerita-cerita primitif,
dan hal-hal yang tidak logis
lainnya.
BAB II
SKETSA POST MODERN : PORAK – PORANDANYA PENGETAHUAN
SKETSA POST MODERN : PORAK – PORANDANYA PENGETAHUAN
Istilah “postmodern” sekarang sangat sering digunakan, tetapi lebih sering lagi
disalahgunakan. Sangat sulit mendefinisikan postmodern dalam satu atau dua
kalimat saja karena postmodern pada hakikatnya berisikan aneka ragam, saling
berserakan, dan sering kali isinya saling bertolak belakang, bahkan terkesan
seperti “kapal pecah” sehingga suatu definisi untuk itu memang tidak
dibutuhkan. Itulah dia watak postmodem, suatu ungkapan sangat populer, tetapi
tanpa definisi yang jelas.
Di samping itu, bagi kaum postmodem, “perbedaan” merupakan inti dari segala
kebenaran. Karena itu, mereka’tidak mempercayai pada hal-hal yang universal,
harmonis, dan konsisten. Tidak ada musyawarah musyawarahan dalarn mencari
kebenaran dan menghadapi realitas. Yang ada hanyalah perbedaan-perbedaan, dan
perbedaan-perbedaan tersebut harus selalu dihormati.
Kaum postmodern percaya bahwa tidak ada suatu yang transenden dalam realitas.
Nietzsche mengatakan bahwa Tuhan sudah mati. Menurut paharn postmodem, realitas
yang sama dapat ditafsirkan secara berbeda – beda oleh pihak yang berbeda –
beda. Karena itu, tidak mengherankan jika Jacques Derrida, seorang pelopor
aliran postmodem, mengajak manusia untuk berhenti mencari kebenaran
(sebagaimana yang dilakukan oleh kaurn pencerahan), bahkan seyogianya kita
membuang pengertian kebenaran tersebut. Tidak ada kebenaran yang absolut,
universal, dan permanen. Yang ada hanyalah kebenaran menurut suatu komunitas
tertentu saja. Yang diperlukan bukanlah usaha mencari kebenaran, melainkan yang
diperlukan adalah percakapan dan penafsiran yang terus – menerus terhadap suatu
realitas, tanpa perlu memikirkan suatu kebenaran yang objektif.
Paham postmodem juga menolak teori korespondensi, yang menyatakan bahwa suatu
kebenaran baru ada jika adanya hubungan yang selaras antara. statement yang
diucapkan dan realitas/fakta. Menurut teori
korespondensi:
“Jika Anda
berkata ada sebuah roti apel di lemari es, saya perlu melihat ke dalam lemari
es itu untuk membuktikan apakah perkataan Anda benar. “
(Stanley J.
Gren-i, 2001: 69).
Oleh kaum realis, teori korespondensi ini dianggap berlaku universal
dimana-mana. Menurut kaum realis, pikiran manusia, dapat mengetahui suatu
realitas secara, utuh sehingga. dunia dapat digambarkan secara. utuh, lengkap,
dan tepat termasuk menggambarkan rahasia alam semesta, melalui ilmu
pengetahuan. Dan kesemuanya itu dapat digambarkan dengan suatu bahasa. yang
tepat. Dengan demikian, menurut kaurn postmodem, bahasa. berfungsi sebagai
permainan catur, yang memiliki aturan bagaimana seharusnya, suatu pion
digerakkan. Jacli, bahasa. ticlak dapat begitu saja clihubungkan dengan suatu
realitas karena bahasa ticlak menggambarkan realitas secara tepat clan
objektif, tetapi bahasa hanya menggambarkan dunia. dengah berbagai cara.
bergantung konteks dan keinginan yang menggunakan bahasa. tersebut.
Dengan demikian, aliran critical legal studies, yang antara lain merupakan
refleksi aliran postmodem ke dalam bidang hukum mencoba memberikan suatu
jawaban atau minimal merupakan suatu kritikan terhadap kenyataan bahwa hukum
pada akhir abad ke-20 memang timpang, baik dari segi tataran teoritis,
filsafat, maupun dalam tataran praktisnya. Di samping itu, dengan pendekatan
secara induktif, bergerak dari kenyataan hukum yang diterapkan dalam
masyarakat, menyebabkan para pemikir hukum pada akhir abad ke-20 terpaksa harus
mengakui beberapa premis hukum baru, yang memporak-porandakan premis hukum yang
lama.
BAB
III
PENGARUH
DARI REALISME HUKUM
The life of the law has not been
logic, it has been experience … the law can not dealt with as if it contained
only the axioms and corollaries of a book of mathematics.,
(Oliver Wendell
Holmes)
A. Latar
Belakang Lahirnya Aturan Realisme Hukum
Gerakan critical legal studies, yang semula merupakan keluh kesah dari beberapa
pernikir hukum di Amerika Serikat yang kritis, tanpa disangka ternyata begitu
cepat gerakan ini nenemukan jati dirinya dan telah menjadi suatu aliran
tersendiri dalam teori dan filsafat hukum. Dan ternyata pula bahwa gerakan ini
berkembang begitu cepat ke berbagai negara dengan kritikan dan buah pikirnya
yang cukup segar dan elegan..
Sebagaimana biasanya suatu aliran dalarn filsafat hukurn, maka aliran realisme
hukum juga lahir dengan dilatarbelakangi oleh berbagai faktor hukum dan
nonhukum, yaitu faktor-faktor sebagai berikut:
Faktor perkembangan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Faktor perkembangan
sosial dan politik.
Walaupun begitu, sebenarnya aliran
pragmatism dari William James dan John Dewey itu sendiri sangat berpengaruh
terhadap ajaran dari Roscoe Pound dan berpengaruh juga terhadap ajaran dari
Oliver Wendell Holmes meskipun tidak sekuat pengaruhnya terhadap ajaran dari
Roscoe Pound.
Pengaruh dari aliran fragmatisme dalam filsafat sangat terasa dalam aliran
realisme hukum. Sebagaimana diketahui bahwa kala itu (awal abad ke-20), dalam
dunia filsafat sangat berkembang ajaran pragmatisme ini, antara lain yang
dikembangkan dan dianut oleh William James dan John Dewey. Bahkan, dapat
dikatakan bahwa pragmatisme sebenarnya merupakan landasan filsafat terhadap
aliran realisme hukum. Dalam tulisan – tulisan dari para penganut dan
inspirator aliran realisme hukum, seperti tulisan d.ari Benjamin Cardozo atau
Oliver Wendell Holmes, sangat jelas kelihatan pengaruh dari ajaran pragmatisme
hukum ini.
Hubungan antara aliran realisme hukurn dan aliran sosiologi hukum ini sangat
unik. Di satu pihak, beberapa fondasi dari aliran sosiologi hukum mempunyai
kemiripan atau overlapping, tetapi di lain pihak dalam beberapa hal, kedua
aliran tersebut justru saling berseberangan. Roscoe Pound, yang merupakan
penganut aliran sociological jurisprudence, merupakan, salah satu pengritik
terhadap aiiran realisme hukum. Akan tetapi, yang jelas, sesuai dengan namanya,
aliran realisme hukum lebih aktual dan memiliki program-program yang lebih
nyata dibandingkan dengan aliran sociological jurisprudence.
B. Konsep
Pemikiran Dari Realisme Hukum
Paham realisme hukum memandang hukum sebagaimana seorang advokat memandang
hukum. Bagi seorang advokat, yang terpenting dalam memandang hukum adalah
bagaimana. memprediksikan hasil dari suatu proses hukum dan bagaimana masa
depan dari kaidah hukum tersebut. Karena itu, agar dapat memprediksikan secara
akurat atas hasil dari suatu putusan hukum, seorang advokat haruslah juga
mempertimbangkan putusan-putusan hukum pada masa lalu untuk kemudian
memprediksi putusan pada masa yang akan datang.
Para penganut aliran critical legal studies telah pula bergerak
lebih jauh dari . aliran realisme hukurn dengan mencoba menganalisisnya dari
segi teoretikal-sosial terhadap politik hukum. Dalarn hal ini yang dilakukannya
adalah dengan menganalisis peranan dari mitos “hukurn yang netral” yang
melegitimasi setiap konsep hukum, dan dengan menganalisis bagaimana sistern
hukurn mentransformasi fenomena sosial yang sarat dengan unsur politik ke dalam
simbol-simbol operasional yang sudah dipolitisasi tersebut. Yang jelas, aliran
critical legal studies dengan tegas menolak upaya-upaya dari ajaran realisme
hukum dalam hal upaya aliran realisme hukum untvk memformulasi kembali unsur
“netralitas” dari sistern hukum.
Seperti telah dijelaskan bahwa aliran realisme hukum ini oleh para pelopornya
sendiri lebih suka dianggap sebagai hanya. sebuah gerakan sehingga mereka.
menyebutnya sebagai “gerakan” realisme hukum (legal realism movement).
Nama populer untuk aliran tersebut memang “realisme hukum” (legal realism)
meskipun terhadap aliran ini pernah juga diajukan nama lain seperti: Functional
Jurisprudence. Experimental Jurisprudence. Legal Pragmatism. Legal
Observationism. Legal Actualism. Legal Modesty Legal Discriptionism. Scientific
Jurisprudence. Constructive Scepticism.
C. Hubungan Realisme Hukum
Dengan Critical Legal Studies
Kaum realist hukum tidak percaya terhadap pendekatan pada hukum yang dilakukan
oleh kaurn positivist dan naturalist, yang pada prinsipnya menyatakan bahwa
hakirn hanya menerapkan hukurn yang dibuat oleh pembentuk undang-undang.
Bahkan, sebagaimana yang dikemukakan oleh aliran formalisme hukurn bahwa
penalaran hukum (legal reasoning) merupakan penalaran yang bersifat
syllogism, di mana premis mayor berupa aturan hukurn dan premis minor berupa
fakta-fakta yang relevan, sedangkan hasilnya berupa putusan hakim. Menurut
ajaran realisme hukum, aliran positivisme maupun allran formalisme sama-sama
meremehkan penerapan hukum oleh hakim, di mana menurut golongan ini, peranan
hakirn hanya sebatas menerapkan hukum atau paling jauh hanya menafsirkan hukum
seperti yang terdapat dalarn aturan perundangundangan. Sebaliknya, menurut
aliran realisme hukum, hakim tidak hanya menerapkan atau menafsirkan hukum.
Dalarn banyak hal, ketika hakirn memutuskan perkara, hakirn justru membuat
hukum. Hukurn yAng dibuat oleh hakirn ini umumnya sangat dipengaruhi oleh latar
belakang politik dan perasaan dari hakirn yang memutuskan perkara tersebut.
Aliran realisme hukurn pada prinsipnya me.mberikan beberapa tesis sebagai berikut:
1. Tesis Pertama
Aturan hukurn yang ada tidak cukup
tersedia untuk dapat menjangkau setiap putusan hakirn karena masing-masing
fakta hukum dalarn masing-masing kasus yang bersangkutan bersifat unik.
2. Tesis
Kedua
Karena itu, dalarn memutus perkara,
hakirn membuat hukum yang baru.
3. Tesis
Ketiga
Putusan hakim dalam kasus-kasus yang
tidak terbatas tersebut sangat dipengaruhi oleh pertimbangan politik dan moral
d.ari hakim itu sendiri, bukan bbrdasarkan pertimbangan hukum.
Karena masuknya ilmu-ilmu positif ke dalam bidang hukum menjadikan hukum
seperti kerangka-kerangka yang mati dan tidak berjiwa, maka keadilan yang
sebenarnya merupakan tujuan utama bagi hukum, semakin jauh dan kenyataan.
Unsur-unsur antropologis sama sekali diabaikan. Nilai-nilai, termasuk nilai
keadilan, kebenaran, perlindungan, rasa sayang, empati, dan. lain-lain tidak
pernah lagi dipertimbangkan oleh hukum. Hakim dipaksa menjadi semacam
robot-robot. Dari sini timbul gagasan untuk menggantikan hakim dengan mesin-mesin
komputer saja.
D. Kritik
Terhadap Realisme Hukum
Sebagai sebuah aliran yang menjelajahi sampai ke dunia filsafat, adalah wajar
jika terhadap aliran realisme hukum terjadi perbedaan pendapat dan
kritikan-kritikan. Bahkan, pada awal-awal kelahirannya, tentang konsep – konsep
dari aliran ini sempat menjadi perdebatan yang terbilang sengit di antara para
ahli hukum. Sekitar tahun 1931, bahkah terjadi perdebatan yang cukup seru di
antara para ahli hukurn kala itu, khususnya antara Roscoe Pound, Karl
Llewellyn, dan Jorerne Frank. Polemik tersebut sangat membekas dan terus
berpengaruh terhadap perkembangan selanjutnya dari aliran realisme hukurn ini.
Kritik terhadap aliran realisme hukum juga diajukan terhadap hal-hal yang
berkenaan dengan pandangannya tentang proses judisial. Dalam hal ini kritik
diajukan terhadap statement yang normatif dan terhadap konsep “logic”,
sedangkan terhadap penekanan kaum realis hanya terhadap kasus-kasus yang susah
saja.
Mengenai logika hukum, kaum realisme hukum dikritik bahwa kaum realisme hukum
tersebut, terutama Joreme Frank, gagal melihat bahwa logika bukan alat untuk
menemukan sesuatu, melainkan lebih merupakan suatu demonstrasi, di mana dari
premise yang tetap dapat ditarik kesimpulan tertentu dengan alasan yang logis.
Sebagaimana diketahui bahwa kaum realisme hukum memang menentang penarikan
kesimpulan hukum dengan menggunakan logika melalui silogisme. Akan tetapi,
sebenarnya kaum realisme hukurn sudah membedakan antara alasan (reason) untuk
suatu pendapat (opinion) dan logika (logic) untuk mengambil suatu keputusan
hukum.
BAB
IV
CRITICAL
LEGAL STUDIES : LATAR BELAKANG DAN PERKEMBANGAN
A. Latar Belakang Lahirnya Critical
Legal Studies
Sebagaimana diketahui bahwa banyak kekecewaan terhadap filsafat,teori, dan
praktek hukum yang terjadi di paruh kedua dari abad ke-20. Sedangkan aliran lama yang mainstream
saat itu., semisal aliran realisme hukum, di samping perannya semakin tidak
bersinar, semakin tidak populer, dan juga ternyata tidak dapat menjawab
berbagai tantangan zaman di bidang hukum. Sangat terasa, terutama pada akhir
abad ke-20, bahwa diperlukan adanya suatu aliran dan gebrakan baru dalarn
praktek, teori, dan filsafat hukum untuk menjawab tantangan zaman tersebut.
Maka, aliran critical legal studies datang pada saat yang tepat dengan
menawarkan diri sebagai pengisi kekosongan dan kehausan akan doktrin – doktrin
baru dalarn hukum kontemporer.
Aliran critical legal studies mengritik aliran-aliran hukum yang sedang
berkembang saat itu yang diyakini oleh sebagian besar ahli hukum sebagai aliran
modern dalarn hukum. Aliran-aliran hukurn yang dibilang modern tersebut
memiliki -karakteristik yang liberal dan plural, sama dengan paham yang berlaku
pada umumnya di bidang-bidang sosial dan politik lainnya, Karena itu, ke dalam
bidang hukum, aliran-aliran hukum yang mendapat kecaman keras dari aliran
critical legal studies tersebut, disebut dengan liberalisirne dan pluralisme
hukum.
B. Critical Legal Studies Sebagai
Tanggapan Terhadap Ketidakberdayaan Hukum
Menyadari akan kebobrokan hukum yang sudah sampai pada tataran teoretis dan
filsafat ini, maka pada akhir abad ke-20, tepatnya mulai dekade 1970-an,
beberapa ahli hukum mulai melihat hukum dengan kacamata. yang kritis, bahkan
sangat kritis, dengan gerakannya. yang terbilang revolusioner, akhirnya
memunculkan suatu aliran baru dalarn filsafat hukum, yang kemudian dikenal dengan
sebutan “aliran hukum kritis” (critical legal studies). Meskipun aliran
critical legal studies belum tentu juga mempunyai teori yang bersifat
alternatif, tetapi paling tidak, dia sudah punya. sejarah.
Di samping itu, aliran critical legal studies ini juga berbeda secara konsepsi
dengan pendekatan hukum secara sosiologis (sociolegal studies).
Pendekatan pada hukum secara sosiologis memiliki kelemahan utama berupa
terabaikannya karakter orientasi kebijaksanaan hukum (policy oriented). Khusus
untuk masalah ini, berbagai alternatif pendekatan baru telah dilakukan oleh
para ahli hukum, seperti munculnya ajaran berupa sosiologi hukum kritis (critical
sociology of law) atau pendekatan pada hukum (dan juga pada fenomena sosial
lainnya) berupa pendekatan secara dialektikal yang modern, semacam yang
dilakukan oleh ahli pikir seperti Derrida, atau bahkan seperti yang
dimunculkankan oleh Hegel, yang kemudian dikembangkan lebih lanjut, antara.
lain oleh Bhaskar, dengan doktrinnya berupa “realisme kritikal dialektis” (dialectical
critical realism). Pendekatan nonkonvensional terhadap hukum seperti ini
sudah barang tentu sangat bertentangan dengan pendekatan-pendekatan hukum
secara klasik, yang terialu menekankan pada cara berpikir “identitas” (identity
thinking).
C. Critical Legal Studies,
Formalisme, dan Pluralisme Hukum
Sebagaimana diketahui bahwa aliran critical legal studies merupakan reaksi
terhadap aliran-aliran hukum sebelumnya, di mana aliran hukum sebelumnya
tersebut sangat berpegang pada. paradigma bahwa hukum terpisah dengan faktor
politik dan moral, dengan mengagung-agungkan manusia sebagai pernegang hak
individual dan penyandang kewajiban hukum, dan dengan mengabaikan hubungan
politik dan sosial di antara para anggota masyarakat.
Di samping itu, menurut paham formalisme hukum, hukum bersifat imperatif,
karena hukum tersebut dibuat oleh negara. dan alat-alat pelengkapan negara
bertugas untuk menjalankan hukum tersebut. Pemerintah bersama~sama dengan DPR
mempunyai otoritas untuk membuat undang-undang, yang akan diterapkan oleh hakim
di pengadilan. Pemikiran seperti ini membawa akibat bahwa validitas hukum tidak
lagi dilihat pada aspek substantifnya. Yang dilihat hanyalah faktor formalnya,
seperti keabasahan prosedur pembuatan dan penerapan hukum, kewenangan pejabat
pembuat dan penerap hukum, dan lain-lain.
D. Critical Legal Studies dan
Sejarah Hukum
Aliran critical legal studies juga banyak memberikan pandangannya yang secara
langsung atau tidak langsung berkaitan dengan sejarah hukum.
Selanjutnya, kaum critical legal studies juga. Tidak percaya pada pandangan
kaurn adaptationism, baik terhadap pandangan kaurn adaptationism yang
deskriptif maupun terhadap pandangannya yang normatif. Pandangan yang deskriptif dari kaurn adaptationism
menyatakan bahwa sejarah masa lalu hanya berisikan suatu daftar dari tema-tema
umurn saja, sedangkan pandangannya yang normatif menyatakan bahwa. masa kini
merupakan perbaikan yang terus-menerus terhadap masa lalu sehingga. apa yang
terjadi masa kini harus disambut dengan baik.
Sebenarnya, yang pertama sekali mengembangkan terminologi “teori kritis” adalah
mazhab frankfurt, yang dipelopori oleh para anggota dari Institute for Social
Research dari University of Frankfurt, yang umumnya merupakan para sarjana
berhaluan kiri. Kemudian, istilah “teori kritis” ini, yang sebenarnya tidak
begitu jelas batas-batasnya, berkembang ke berbagai bidang ilmu, yang di
kembangkan antara lain oleh sarjana atau kelompok dari sarjana dalam bentuk
teori-teori sebagai berikut: Teori marxist
dari Frankfurt School, Teori semiotic and linguistic dari Julia Kristeva dan
Roland Barthes, Teori psychoanalythic dari Jacquest Lacan, Critical legal studies dari Roberto
Unger dan Duncan Kennedy, Teori queer, Teori gender, Teori kultural, Teori
critical race, Teori radical criminology.
E.
Critical Race Theory ( Race – Crits )
Sebagaimana diketahui bahwa konferensi pertama yang menandakan lahirnya gerakan
critical legal studies ini dibuat dalam tahun 1977 di University of Wisconsin,
Medison, dalam tahun 1977. Lebih kurang dua puluh tahun kemudian, muncul dua
pengembangan yang merupakan generasi kedua dari aliran critical legal studies,
yaitu aliran critical feminist jurisprudence dan aliran critical race theory.
F. Respons dari Kaum Ortodoks
Terhadap Critical Legal Studies
Sebagai suatu ajaran dalarm filsafat, sudah barang tentu aliran critical legal
studies ini mendapat resp6ns dan kritik dari berbagai sudut pandang. Di antara
respons yang penting terhadap aliran critical legal studies tersebut adalah
responsns dari kaum ortodoks, yang merupakan para penganut dari aliran liberal
dalam hukum. Pada pnn.sipnya, mereka mengritik aliran critical legal studies
ini, baik dari segi indeterminasi dan legitimasi maupun dari hasil yang
didapati. Mernang banyak ahli hukum menyatakan bahwa karena posisi yang diambil
oleh aliran critical legal studies ini sangat ekstrem, dalam, banyak hal
malahan overstated, menyebabkan mereka sangat mudah dikritik oleh pihak yang
tidak menyetujuinya.
BAB
V
CRITICAL
LEGAL STUDIES TENTANG KEKUASAAN DAN
MASYARAKAT
A. Peranan Hukum dalam Masyarakat
Bagaimanapun
juga, hukum mengatur kepentingan masyarakat. Karena itu, tentu saja, peranan
hukum dalam’masyarakat yang teratur seharusnya cukup penting. Tidak bisa
dibayangkan betapa kaeaunya masyarakat jika hukurn tidak berperan. Masyarakat
tanpa hukum akan merupakan segerombolan serigala, di mana yang kuat akan
memangsa yang lemah, sebagaimana pernah disetir oleh ahli pikir terkemuka,
yaitu Thomas Hobbes beberapa ratus tahun yang silam. Homo Homini Lupus. Dan,
yang kalah bersaing dan fidak bisa beradaptasi dengan perkembangan alam akan tersisih
dan dibiarkan tersisih, sebagaimana disebut oleh Charles Darwin dalam teori
seleksi alamnya (natural selection), di mana yang kuat yang akan survive
(the fittest of survival). Karena itu, intervensi hukurn untuk mengatur
kekuasaan dan masyarakat merupakan conditio sine qua non (syarat mutlak), Dalam
hal ini, hukum akan bertugas untuk mengatur dan membatasi bagaimana kekuasaan
manusia tersebut dijalankan sehingga tidak menggilas orang’lain yang tidak
punya kekuasaan.
BAB
VI
CRITICAL
LEGAL STUDIES MENURUT ROBERTO UNGER
A. Kritik
Terhadap Paham Formalisme dan Objektivisme
Ketika paham formalisme tidak menggantungkan diri pada unsur-unsur dlluar hukum
apa yang mereka lakukan hanyalah melakukan analogl-analogi. Dengan demikian,
apa yang.mereka sebut sebagai penalaran hukum (legal reasoning) hanyalah
semacam permainan analogi saja yang tidak ada akhirnya. Padahal, hak-hak
manusia dan masyarakat tidak layak untuk selamanya dipertahankan hanya dengan
menggunakan analogi. Lihat saja, misalnya, bagaimana seorang mahasiswa hukum
yang cerdas dengan mudah dapat membantah keputusan hukum.
Roberto Unger mengakui tentang adanya penjabaran dari pihak yang boleh dibilang
konservatif terhadap kritik kaurn critical legal studies tentang formalisme.
Menurut pihak konservatif tersebut, kritikan oleh kaurn critical legal studies
tersebut hanya valid jika ditujukan terhadap konstruksi hukum yang sistematik
dari para, ahli hukurn yang sangat ambisius.dan tidak valid jika ditujukan
terhadap argumentasi yang khusus dan problem oriented dari pihak lawyer dan
hakim dalarn praktek. Akan tetapi, menurut Unger, kritik kaum critical legal
studies terhadap ajaran formalisme, ~sebenarnya juga dalam rarigka
mempertahankan ajaran formalisnie dengan berbagai argumentasi, di samping,juga
dalarn rangka menunjukkan bahwa tidak benar tindakan yang memisahkan antara
penalaran hukum (legal reasoning) dan politik, ideologi, dan filsafat
(Roberto Unger, .1986: 11).
B. Konsep
– Konsep dari Aliran Critical Legal Studies
Telaahan dari para penganut aliran critical legal studies terhadap hukum juga
ikut membicarakan antara peranan dari fakta (praktek) dan nilai (ide). Argumen
konstruktif mereka, yakni dalarn bentuk program-program institutional dan
pelaksanaan doktrin deviatidnist, menelaah hubungan antara praktek dan ide,
yang selalu dipengaruhi oleh konflik sosial yang diaktualisasi dalarn bbrbagai
bentuk eksperimen kolektif. Para penganut aliran critical legal studies
menganalisis dengan kritis terhadap doktrindoktrin hukum dan tradisi hukurn
yang ada yang mengikat manusia dan masyarakat. Menurut mereka, setiap tradisi
penuh, dengan hal-hal yang ambiguitas, yang sangat memungkinkan timbul
argumentasi alternatif yang bersifat persuasif.
Para pengritik memperbedakan antara fakta dan preskriptif (norma) sehingga
mereka sampai pada pendapat tentang ketidaklayakan dasardasar sekular mengenai
suatu putusan yang normatif., Dalam hal ini, peranan agama-agama dapat
memperjelas duduk persoalan yang mengajarkan bahwa apa yang imperatif dilakukan
dalam hidup adalah visi tentang kenyataan yang sebenarnya (ultimate reality).
Para pengritik percaya bahwa tanpa adanya hubungan antara visi dan imperatif,
akan sia-sialah dan tidak mempunyai dasar terhadap setiap usaha untuk
mensakralkan setiap perintah yang mesti diikuti oleh manusia.
C. Program –
program Institusional dari Aliran Critical Legal Studies
Para penganut aliran critical legal studies juga mengritik pandangan modern
tentang organisasi pemerintahan. Sebab, menurut para penganut aliran critical
legal studies tersebut bahwa setiap sarana untuk membatasi kekuasaan hegara,
akan cenderung juga merugikan masyarakat. Karena itu, diperlukan suatu cara
yang bersifat resolusi, di mana dapat terjadi pembatasan kekuasaan negara tanpa
membatasi aktivitas negara yang bersifat transformatif.
No comments:
Post a Comment
TERIMAKASIH ATAS PARTISIPASINYA